Pornografi dan Pornoaksi, Adakah Dalam Islam ? Oleh: *Hizbullah Mahmud **) Tarik menarik defenisi pornografi kini sedang terjadi di Indonesia. Para penggemar pornografi, dan kalangan seniman, menganggap foto Anjasmara dan foto model Isabel Yahya bukanlah termasuk pornografi, begitu pula dengan goyang erotis ala Inul Daratista. Aktifis feminisme mengatakan, "Soal porno itu soal persepsi. Kalau sejak awal otaknya 'ngeres', melihat apa-apa bisa porno", kata Myra Diarsih dalam sebuah diskusi di STCV. Pernyataan ini disambut Dani Dewa (penyanyi kelompok Band Dewa), katanya, "Kalau saya melihat tarian Inul, itu biasa aja, kalau yang lain, otaknya selalu ngeres ya porno". Logikanya, karena yang paling meminta ada UU Anti-Pornografi itu adalah umat Islam, maka, yang paling 'ngeres' otaknya ya umat Islam. Terutama para ulama. Begitu jika memakai logika Myra Diarsih atau Dani Dewa. Jika ngumbar tubuh di depan umum bahkan (bugil sekalipun) bukan termasuk pornografi sebagaimana yang mereka katakan, sepatutnya kita balik bertanya kepada mereka, apa sebenarnya definisi pornografi? Nah, kata pornografi ini memang akan menjadi hal yang bisa diputar balik –terutama pihak-pihak yang sejak awal merasa terancam- dengan alasan mempunyai makna yang luas, tergantung dari sisi mana mengartikannya. Solusi yang tepat kita kembalikan kepada Islam. Apakah Islam mengenal pornografi atau pornoaksi? Aurat dalam Islam Dibanding istilah yang dikenal Barat, Islam lebih tegas dan jauh lebih luar dibanding sekedar istilah pornografi. Yakni yang dikenal dengan istilah * aurat*. Untuk lebih jelasnya, penulis ingin mengemukakan beberapa pendapat yang sudah banyak disampaikan oleh empat imam madzab. Terutama menyangkut batasan *aurat*. Aurat secara bahasa bermakna an naqsu yang berarti kurang atau aib adapun secara istilah sesuatu yang tidak diboleh dilihat atau dipertontonkan. Menutup *aurat* wajib hukumnya dan ini telah menjadi kesepakatan para ulama baik klasik maupun kontemporer kecuali untuk keperluan darurat seperti buang air besar atau mandi dsb. Hal ini berdasarkan hadist Nabi ; "Aisyah meriwayatkan, bahwa saudaranya yaitu Asma' binti Abubakar pernah masuk di rumah Nabi dengan berpakaian jarang sehingga tampak kulitnya. Kemudian beliau berpaling dan mengatakan: " *Hai Asma'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya, melainkan ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya*". (Riwayat Abu Daud dalam *Fiqh Islam Wa Adillatuh *oleh Dr Wahbah Zuhaili Juz :1 Hal :738). Dalam hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat dengan hadis-hadis lain yang membolehkan melihat muka dan dua tapak tangan ketika diyakinkan tidak akan membawa fitnah. Batasan *aurat * Menurut mazhab Hanafi, aurat laki-laki mulai dari bawah pusar sampai bawah lutut, hal ini berdasarkan *ma'tsur *(perkataan sahabat); "Aurat laki-laki apa yang ada diantara pusar dan lututnya atau apa yang ada dibawah pusar sampai lutut. Sedangkan aurat perempuan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan". Firman Allah: "*Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak dari padanya" *(QS : An Nur :31). Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar maksud perhiasan yang biasa nampak dalam ayat ini adalah wajah dan telapak tangan (Dalam *Roddul Muhtar *Juz :1 Hal : 375-378). Mazhab Maliki, membagi *aurat *lelaki dan wanita ketika shalat dan diluar shalat kepada dua bagian. *Pertama*, *aurat* berat (*mughallazah) *dan*aurat * ringan (*mukhaffafah*). *Aurat* berat pada lelaki adalah kemaluan dan dubur sedangkan aurat ringan selain dari kemaluan dan dubur. (dalam *Bidayatul Mujtahid *Juz :1 Hal :111). *Fahd *(paha) menurut mazhab ini bukanlah aurat, mereka berdalil dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah; "*Pada perang Khaibar tersingkaplah pakaian Nabi dan nampaklah pahanya". *(HR Bukhori dan Ahmad). Namun pendapat ini di *rodd *oleh para ulama lain karena banyak dalil lain yang lebih kuat dan *tsiqoh*. (Dalam* Nailul Authar* Juz :2 Hal :178). *Aurat* berat wanita seluruh badan kecuali ujung-ujung badan dan dada. Yang dimaksud ujung badan adalah anggota ujung badan seperti tangan, kepala dan kaki. Semua ujung badan itu tidak dianggap aurat berat ketika sembayang. Mazhab Maliki membataskan apa yang dianggap aurat ringan pada wanita termasuk dada, lengan, leher, kepala dan kaki. Sedangkan muka dan dua tapak tangan tidak dianggap aurat langsung pada mazhab ini, pendapat mazhab ini banyak diikuti negara-negara Arab di Afrika Utara dan negara-negara Afrika. Menurut mazhab Syafi'i, aurat pada laki-laki terletak di antara pusat dan lutut, baik dalam shalat, thawaf, antara sesama jenis atau kepada wanita yang bukan mahramnya, hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abi Sa'id Al Khudri; "*Aurat seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya"*. (HR Baihaqi). Dalam hadist lain dikatakan; "*Tutuplah pahamu karena paha termasuk aurat". *(HR Imam Malik)". (dalam *Mugni Al Muhtaj* Hal:1 Juz:185). Batas aurat wanita termasuk seluruh badan kecuali muka dan dua tapak tangan di bagian atas dan bagian bawahnya. Dalil mazhab ini adalah firman Allah; "*Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak dari padanya" *(QS: An Nur :31). Hadist Nabi mengatakan; "*Rasulullah melarang wanita yang sedang ihrom memakai qofas (sarung tangan) dan niqob (tutup muka)*". (HR Bukhari). Kalau sekiranya muka dan telapak tangan bukan aurat niscaya Rasul tidak akan melarang wanita yang sedang ihrom menggunakan *qofas *dan *niqob*. Menurut mazhab Hambali, *aurat *pada laki-laki terletak di antara pusat dan lutut dalil mazhab ini sama dengan yang digunakan oleh mazhab hanafi dan mazhab syafi'i. Adapun aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, hal ini berdasarkan firman Allah dan hadist-hadist diatas. (dalam *Goyatul Muntaha* Juz:1 Hal: 97-98). Mengumbar *aurat *didepan umum selain kepada mahramnya dan yang diperbolehkan oleh syari'ah, dikategorikan sebagai tindakan pornografi baik karena alasan seni, kebebasan ekspresi ataupun yang lainnya. Dengan demikian konsep pornografi dalam Islam sangat jelas, tegas dan lugas, hal ini tentunya berbeda dengan konsep orang-orang Barat yang masih ngambang, sehingga masih ada celah-celah untuk menyelewengkannya. Karena itu, umat Islam harus ekstra hati-hati dalam menyikapi hal ini, terutama terhadap pihak-pihak yang mengambil kesempatan dengan bermain 'kata-kata' dengan mengatakan 'defenisi pornografi belum jelas". Pihak-pihak tertentu itu –terutama yang merasa terancam jika RUU ini berlaku-- kini berusaha membuat dalil untuk gagalnya RUU ini terjadi. Kelihatannya, dalil yang digunakan untuk menyebarkan kebaikan, demokrasi, mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender. Padahal sebenarnya, seperti dikatakan Al-Qur'an, mereka telah membuat kerusakan yang besar, akan tetapi mereka tidak menyadarinya. *"Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar"*. (QS: Al Baqarah: 12). Bagaimanapun, sebagai masyarakat biasa, kita sadar, RUU yang kini sedang digodok di DPR itu adalah sebuah niat baik, yang justru melindungi martabat wanita, anak-anak dan keluarga. Karenanya, jika masih ada orang berdebat dan bersilat lidah dibalik kata-kata, "Defenisi pornografi belum jelas", sebaiknya memakai defenisi Islam tentang *aurat*. Apakah sesungguhnya yang boleh dilihat, dipandang dan dipamerkan bagi seorang wanita atau pria. Dalam Islam, soal *aurat *jauh lebih luas, tegas dan jelas. Berbalik 180 derajat dibanding soal pornografi yang dikenal di Barat. Jangankan soal wajah dan tubuh, sampai-sampai, soal suara pun Islam mengatur dengan cermat dan menganggapnya *aurat*. Bagi mereka yang masih suka bermain kata-kata dan bersilat lidah, sebaiknya kita menanyakan dengan hati nurani. Bagaimanakah jika semua yang sedang dia bela-bela itu (terutama pornografi dan pornoaksi) itu bila kelak terjadi dan merusak sendi kehidupan masyarakat? Dan bagaimana bila anak-ananya atau saudara-saudara perempuannya yang menjadi pelaku? Atau, mungkin, justru anak-anak dan saudara-saudara yang kelak menjadi korban? Nah, kecuali jika mereka memang tak punya hati. Karena itu, artikel ini, hanya bagi Anda yang masih 'memiliki hati'. *) *Penulis adalah pengelola website al-ukhuwah.com dan Mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syari'ah Islamiyah. * -- Ilmu yang kamu miliki tidaklah cukup; kamu harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup; kamu harus melaksanakannya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar